Pantang Menyerah

1543354435182

Pantang menyerah. Lagi-lagi kata yang mudah diucapkan, tapi butuh perjuangan untuk mencapainya. Pantang menyerah dalam hal apa? Kebaikan, terutama yg bernilai pahala. Kalo orang merokok pantang menyerah dalam merokok, padahal jelas-jelas merugikan diri & orang sekitarnya, masa’ yg berjuang dalam kebaikan kalah semangat 🙂

Ada satu hal yg sangat saya syukuri, yaitu saat saya pantang menyerah memberikan terapi untuk Rafa, anak saya. Seperti yg sudah saya ceritakan sebelumnya, Rafa dulu mengalami gangguan sensori integrasi, yg menyebabkan perkembangan bicara dan bahasanya terlambat. Rafa diperiksa oleh dokter spesialis anak subspesialis tumbuh kembang dan dokter spesialis rehabilitasi medik di Hermina saat berusia 15-16 bulan. Saat itu Rafa didiagnosis mengalami gangguan sensori integrasi dan gangguan bahasa ekspresif. Saat itu pula “perjalanan” terapi Rafa dimulai.

Kalau dibilang saat yang paling berat adalah saat memulai sesuatu, saya setuju banget. Apalagi saat sesi terapi, Rafa menangis terus. Rasanya pengen berhenti saja terapinya. Tapi saya ingat kata-kata para dokter spesialis yg memeriksa Rafa, juga berbagai literatur yg saya baca, bahwa usia 2-3 tahun pertama anak adalah masa emas (golden period) tumbuh kembang anak. Kalau sudah lewat masa emas, akan lebih sulit bagi anak untuk berkembang. Saya pun menguatkan diri dan terus menyemangati Rafa.

6 bulan berlalu, alhamdulillah ada perubahan pada perilaku dan emosi Rafa, namun tidak ada perubahan yg bermakna pada bicaranya. Saya pun stres karena Rafa sudah berusia 2 tahun. Masa emas-nya tinggal 1 tahun lagi. Saya pun mencari tempat terapi lain, dan banyak yg merekomendasikan Klinik Anakku. Namun antrian disana 2-3 bulan (ini baru ketemu dokternya), kemudian antri lagi untuk jadwal terapinya (sekitar 2-3 bulan juga). Setelah diperiksa Prof.Hardiono, diagnosisnya sama, masih gangguan bahasa ekspresif dengan gangguan sensori integrasi. Sambil menunggu jadwal terapi di Klinik Anakku, Rafa tetap meneruskan terapi di Hermina.

6 bulan kemudian, saat Rafa berusia 2,5 tahun, kata pertama yg bisa Rafa ucapkan yaitu “Bunda”, masya Allah. Namun, tidak ada perkembangan lain yg berarti. Saya juga belum mendapat jadwal terapi Rafa di Klinik Anakku. Saya kontrol ke Prof.Hardiono. Disini saya sempat sangat sedih dan merasa gagal sebagai ibu. Beliau tampak frustasi krn Rafa hanya bisa 1 kata yg jelas, dan belum juga diterapi di Klinik Anakku. Dengan bantuan beliau, Rafa akhirnya mendapat jadwal di Klinik Anakku. Betapa leganya saya saat mulai sesi terapi di Klinik Anakku, Rafa tidak menangis, hanya sesekali merengek. Rafa terlihat bersemangat menjalani terapinya.

6 bulan lagi berlalu, Rafa berusia 3 tahun. Alhamdulillah Rafa mulai menunjukkan perkembangan bahasa dan bicara. Biarpun masi belum jelas pelafalannya, tapi Rafa sudah “bawel”. The doctor even gave his thumbs up (literally). Sepanjang sesi kontrol, Prof.Hardiono tampak lega dan bangga pada Rafa. Pada tahap ini, beliau mempersilahkan jika Rafa ingin berhenti terapi karena perkembangannya sudah baik. Bahkan sempat dibilang bahwa untuk anak seperti Rafa, kemampuan bicara seperti itu sudah “bagus”. Di satu sisi, saya bersyukur bahwa perkembangan Rafa baik, tapi di sisi lain, saya merasa Rafa masih bisa berkembang lagi. Saya dan suami memutuskan untuk melanjutkan terapi Rafa.

6 bulan lagi berlalu, Rafa berusia 3,5 tahun. Saya selalu terharu dan sangat bersyukur setiap mengingat masa-masa ini. 2 tahun setelah terapi, perkembangan bicara dan bahasa Rafa sangat pesat. Saya mulai keteteran mengisi buku catatan kosakata Rafa, saking banyaknya pertambahan kosakata Rafa, alhamdulillah. Oia, saat itu Prof.Hardiono hanya menangani pasien baru dan pasien “sulit”, pasien lainnya dipercayakan ke dr.Selly dan bu Anita. Saat kontrol ke dr.Selly (dokter anak) dan bu Anita (psikolog), mereka tampak takjub dengan perkembangan Rafa. Mereka sangat ramah dan keibuan, Rafa tampak nyaman ngobrol dengan mereka. Mereka kemudian memutuskan bahwa Rafa sudah lulus terapi sensori integrasi. Dan Rafa mulai menjalani terapi wicara di rumah (home therapy), dengan orangtua sebagai “terapis”nya.

3 bulan berlalu, namun perkembangan bicara dan bahasa Rafa dari home therapy kurang optimal. Akhirnya Rafa terapi wicara di Klinik Anakku, dengan terapis Tante Yanti. Seperti terapis lain di Klinik Anakku, Tante Yanti sangat ramah, cepat dekat dgn anak, juga energetik. Adaaa saja idenya Tante Yanti mengajak Rafa mengikuti berbagai latihan yg terus berulang. Alhamdulillah, perkembangan bicara Rafa semakin baik lagi. Setiap kontrol ke dr.Selly dan bu Anita pun, mereka memuji perkembangan Rafa.

Hingga akhirnya, saat Rafa berusia 4,5 tahun, Rafa dinyatakan lulus terapi wicara. Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah. Setelah 3 tahun diterapi, Rafa akhirnya lulus. Dan 3 tahun bukanlah waktu yg singkat, apalagi utk Rafa yg masih balita. Hampir seluruh hidupnya (saat itu) diisi dgn terapi (baik di klinik maupun di rumah). Mengutip dari ig-story @loveshugah, anak itu guru kehidupan, kita bisa belajar banyak melalui anak. Pantang menyerah. Rafa yg masih balita sudah memiliki semangat itu. Masya Allah.