Sampahku, Tanggung jawabku

Dulu saya berpendapat bahwa sampah itu bukan urusan saya. Sampah itu urusan tukang sampah. Saya lupa sejak kapan jadi lebih aware tentang isu sampah. Ternyata sebagian besar sampah di TPA hanya ditumpuk. Kalau mau baca lebih lanjut tentang TPA bisa lihat di website: https://waste4change.com/blog/kondisi-tpa-penuh-indonesia/ Saya pun baru tahu kalau TPA itu bukan Tempat Pembuangan Akhir, tapi Tempat Pemrosesan Akhir. Berarti harusnya ada proses mengelola sampah di tahap-tahap sebelumnya, bahkan saat sampah masih di rumah saya.

Pada tahun 2019-2020, saya ikut Gemari Pratama yang diadakan komunitas @gemarrapi. Tujuan awal saya ikut kelas tersebut supaya saya lebih mudah merapikan rumah dengan effortless. MasyaAllah, ternyata ilmu yg diberikan di kelas tsb melimpah. Tidak hanya ttg mengatur rumah, tapi juga sustainable living. Disitu ditekankan pentingnya mengelola sampah kita sendiri semampu kita. Bagaimana caranya? 

Untuk sampah organik, bisa dijadikan kompos, caranya dengan dimasukkan ke komposter atau biopori. Alhamdulillah di kelas Gemari Pratama ada workshop mengompos gratis. Di grup diskusi pun suka ada yg sharing ttg biopori, masyaAllah. Ada juga ttg ecoenzyme, saya coba bikin tapi zonk, wkwk. Lebih mudah bikin kompos sih menurut saya. 

Untuk sampah anorganik: reduce, reuse, kemudian recycle. Jadi sebaiknya dikurangi dulu (reduce) pembelian dan pemakaiannya. Tahap berikutnya sampah yg sudah dibersihkan (cuci dan keringkan), bisa digunakan lagi (reuse) namun beda fungsi. Misalnya botol plastik dan kotak susu bisa utk bahan prakarya anak, atau botol plastik besar utk media bercocok tanam. Kalau saya masih lebih sering yg tahap recycle

Dulu saya mikir, ya Allah cape amat ya ngurusin sampah gini. Tapi setelah tau gimana nasib sampah di TPA, koq nyes ya rasanya. Belom lagi di TPA beberapa kali kejadian longsor dan banyak korbannya. Beritanya bisa cek disini: https://sustaination.id/hari-peduli-sampah-nasional/ 

Mulai saat itu, saya lebih semangat utk reduce, reuse dan recycle, juga menjalani sustainable living

  • Saya coba mengurangi sampah pembalut dengan mengganti ke pembalut kain. Dulu saya mikir koq kayaknya jijik dan ribet. Ternyata enggak tuh. Saya coba merk gg dan cluebebe, cukup menyerap dan mudah dicuci (pakai sabun lerak batang). Alhamdulillah sudah sekitar 2 tahun saya pakai pembalut kain, dan sesekali pembalut sekali pakai (kalau lagi pergi ato lagi dismenorea/nyeri haid). 
  • Sampah anorganik saya bersihkan, lalu saya kirim ke lembaga recycle seperti @waste4change, @rebricks.id, atau @armadakemasan. Oia, minyak jelantah juga jangan sembarang buangnya. Saring dan simpan di jerigen, lalu disalurkan ke lembaga recycle di atas.
  • Kurangin belanja yg sebenarnya ga saya butuhkan. Dulu saya tipe yg banyak nyetok, karena saya melihat orgtua saya seperti itu. Tapi ternyata generasi orgtua itu seperti itu krn dulu jaman perang, jadi penting utk menyetok banyak barang-barang kebutuhan pokok. Jaman sekarang apakah masih relevan? Alhamdulillah Indonesia aman, dan ngesot dikit biasanya ada warung ato minimarket, mudah sekali, jadi tidak perlu nyetok banyak, secukupnya saja utk 1-2 bulan. 
  • Children see, children do. Anak mudah sekali meniru orangtuanya. Melihat saya dan suami alhamdulillah cukup konsisten, anak pun jadi meniru. Anak saya uda bisa memilah sampah, juga suka membantu saat saya membuat kompos. Bahkan dia suka tiba-tiba ambil kotak/kaleng susu, kemudian dia berkreasi. 
  • Quality over quantity. Saya lebih memilih membeli barang yg kualitasnya bagus dan tahan lama, dibandingkan bolak balik beli jenis barang yg sama krn bolak balik rusak. Kalo gampang rusak kan nantinya jadi sampah. Misalnya alat masak stainless steel, lebih mahal tapi awet banget masyaAllah. 
  • Perbaiki dulu barang yg rusak. Selama ga ganggu fungsi, pakai terus barangnya. Jadi ga gampang lembiru (lempar, beli baru). Kalau saya misalnya kipas angin, kakinya bbrp kali patah, ya saya lem lagi selama kipasnya masih bagus, bahkan anak saya jg pernah lem kaki kipas angin tsb, dan skrg kipasnya uda 12 tahun loh, masyaAllah.
  • Menggunakan cairan pembersih yg lebih ramah lingkungan. Saya baru coba deterjen pureco, wanginya soft dan hasil cucinya bersih juga. 
  • Mengompos sampah organik. Btw 50% sampah di TPA itu sampah organik loh, jadi kalo kita bisa mengompos sendiri, akan mengurangi tumpukan sampah di TPA. Iya sih awalnya jijik, sempet horor juga pas nemu banyak belatung, eh tapi itu ternyata larva BSF (black soldier fly), bukan hama. Larva BSF ini bermanfaat banget mempercepat proses penguraian sampah organik, komposnya cepet jadi. Baca ttg BSF disini: https://distanpangan.baliprov.go.id/lalat-tentara-hitam-black-soldier-fly-serangga-yang-beragam-manfaat/ Saya pakai komposter dari @sustaination. Diaduk seminggu 1x, alhamdulillah bisa panen dalam 1-2 bulan. Kalau lebih sering diaduk bisa lebih cepet panen sih. Seneng banget liat sampah organik bentuknya jadi kayak tanah lagi, dan bisa dipakai utk bercocok tanam.
  • Rutin decluttering kemudian donasi barang-barang yg masih layak pakai, supaya bisa digunakan dan dimanfaatkan orang lain. Favorit saya beberapa tahun ini pakai jasa @donasibarang. Mereka bisa jemput barang di rumah kita dengan minimal jumlah barang donasi seukuran 5 dus aqua gelas. Gratis. Boleh memberikan uang tapi di dalam amplop, ditujukan ke koordinatornya, Kang Ade. Biasanya kang Ade akan memberitahu kita uangnya utk apa saja, jujur dan transparan. 

Mungkin ada yg berpendapat “ribet amat sih”. Iya sih, awalnya buat saya pun ga mudah, cape juga, tapi doa terus mohon kemudahan ke Allah, alhamdulillah jadi lebih enteng. Balik lagi ke diri sendiri. Yakin sampah ini urusan tukang sampah aja? Bisa tanggung jawab ga kalo di akhirat nanti ditanya Allah? 

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 30) *Via Al-Qur’an Indonesia https://quran-id.com