Semuanya Salah Dokter (Pentingnya Berbaik Sangka)

1499832798271Suatu hari, teman-teman saya bercerita tentang ketidaknyamanan pelayanan medis yg diterima di beberapa tempat dan menyalahkan dokternya. Saya berusaha husnuzhon/berbaik sangka. Dari sudut pandang seorang dokter, dari cerita-cerita tersebut mungkin (saya bilang mungkin karena saya tidak tahu kondisi persisnya) ketidaknyamanan tsb bisa karena minimnya fasilitas di tempat dokter tsb praktek, atau dokternya bersikap hati-hati (daripada nantinya pasien kenapa-kenapa, diobservasi dulu sambil dirawat inap), atau keterbatasan obat yg tersedia, atau memang itu kebijakan klinik/RS, dan yg terakhir mungkin karena salah dokternya.

Mendengar beberapa curhatan teman-teman saya tsb, jujur saya sedih. Sepertinya mudah sekali menyalahkan dokter. But I don’t blame my friends. Mereka bukan tenaga kesehatan, jadi mungkin sulit membayangkan dari sudut pandang dokter. Selain itu, kalau terjadi malpraktek, biasanya beritanya dibesar-besarkan oleh media. Kadang juga dokter tsb tidak malpraktek, tapi komunikasinya yg kurang baik. Tidak bisa dipungkiri ada OKNUM dokter yg “nakal”. Belum lagi kesehatan jadi jualan politik yang maknyus, tapi yg menanggung ga enaknya kalo politikusnya ingkar janji siapa? Dokter. Sedihnya, profesi dokter di Indonesia sering diadu domba dgn pasien. Secara tidak langsung, kepercayaan pasien terhadap dokter berkurang.

Saya pun merasakan menjadi pasien. Saat saya kontrol hamil, pernah dokternya telat, saya harus antri 2 jam lebih, tapi di ruangan hanya diperiksa 15 menit. Kalau saya buruk sangka, uda saya maki-maki dokternya. Tapi tidak saya lakukan. Kebetulan dokter tsb adalah paman saya. Saya tahu, paman saya itu mengajar di rumah sakit pendidikan. Tugasnya banyak, tanggung jawabnya berat, serta sering terjadi hal-hal di luar prediksi. Jadi terlambat praktek bukannya karena sengaja/abis lepe-lepe di rumah. Antri lama karena paman saya itu detil dan sabar sekali memeriksa setiap pasien, pasien-pasiennya pun sering bertanya macam-macam. Loh terus kenapa saya cuma sebentar diperiksanya? Karena alhamdulillah kehamilan saya normal, gada keluhan, kalo ada apa-apa tinggal whatsapp paman saya. Jadi ngapain lama-lama? Hehe.

Contoh lain lagi. Saya antri periksa ke dokter jantung. Wah antrinya lama juga, sekitar 3 jam. Sebelum ngomel, saya liat sekitar saya. Wah lansia semua, sakitnya kayaknya berat-berat ini, belom lagi lansia suka curhat. Saya masih enak nunggu di luar bisa bolak-balik wc, solat, makan dulu. Dokternya? Cuma ke wc 1x, dan blom makan siang, padahal uda lewat jam makan siang.

Saya jadi ingat waktu saya masih praktek di rumah sakit. Kalau pasiennya lagi sedikit, saat istirahat siang saya bisa makan, solat, dll dengan tenang. Kalau pasiennya lagi rame, solat kilat, nahan pipis nahan laper. Nah, yg perjuangan banget kalau jaga malam. Jaga malam bukan berarti siangnya saya tidur kayak beruang lagi hibernasi (I wish), jadi kalau ada waktu untuk tidur sebentar aja, sejam dua jam uda alhamdulillah banget. Ada yg bilang itu risiko pekerjaan. Kalau dokter/perawat tsb adalah keluarga Anda, apakah Anda akan tetap bilang hal yg sama? Saya yakin tidak.

Ada 4 prinsip yang saya pelajari dulu saat sekolah kedokteran: maleficence, beneficence, justice, dan autonomy. Maleficence artinya jangan menambah keburukan pada pasien (kondisi pasien sudah buruk/sakit). Beneficence artinya berbuat kebaikan. Justice artinya keadilan. Autonomy artinya pasien memiliki hak untuk memutuskan. Guru-guru saya berpesan, setiap mau mengobati pasien, jangan lupakan keempat prinsip tersebut. Nah, dari prinsip-prinsip tsb, dokter diajarkan untuk selalu berbuat yg terbaik untuk pasien-pasiennya.

Ada nasehat lain lagi yg saya ingat, yaitu anggap pasien sebagai keluarga sendiri. Jika pasiennya ibu-ibu atau bapak-bapak, anggap orang tua sendiri. Jika pasiennya masih muda, anggap saudara kandung. Jika pasiennya sudah lansia, anggap kakek-nenek sendiri. Pasien dianggap keluarga sendiri loh, pastinya diberikan pelayanan terbaik.

Ya, dokter diajarkan untuk berbuat yg terbaik bagi pasien. Jadi, berbaik sangka dulu terhadap dokter. Kalo ga sreg, tanya langsung ke dokternya, diskusikan ketidaknyamanan Anda. Percayalah, mayoritas dokter itu baik dan berbuat baik terhadap Anda.

dr.Diana Andarini
7 Februari 2017

Note: foto di atas adalah catatan sewaktu saya masih kuliah kedokteran tentang empati, mahasiswa diminta menuliskan sifat-sifat yg harusnya dimiliki seorang dokter

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *