Sedikit tapi Sering

Tentu kita sudah sering mendengar istilah “biar sedikit tapi sering”, dalam kegiatan, pekerjaan, ibadah, dll. Sepertinya mudah ya, tapi ternyata membuat sesuatu hal menjadi sering/rutin adalah hal yang cukup sulit. Apalagi saya, yang sering sekali melakukan sesuatu “tergantung mood”. Kalau lagi mood, bisa melakukan bahkan menyelesaikan banyak hal. Tapi kalau lagi ga mood, astagfirullah, mager banget!

Sebenernya yang paling susah awalnya adalah NIAT. Berniat dulu sungguh-sungguh. Kalau niat saja belom, tenggelamkan! ;p Jangan berpikir “ah susah” atau “ntar sajalah kalau mood”. Niat dulu, kalau untuk kegiatan yang baik, insya Allah bermanfaat. Sesungguhnya Allah mencatat berbagai kejelekan dan kebaikan lalu Dia menjelaskannya. Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lantas bisa ia penuhi dengan melakukannya, maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.” (HR. Bukhari no. 6491 dan Muslim no. 130) [Sumber

Setelah niat, ya lakukan, MULAI. Besok? Nope, SEKARANG! Kalau ga selesai gimana? Gada yang bilang harus selesai kan? Kerjakan saja dulu. Kalau kata sahabat saya, Kak Rie, 15 menit juga gapapa, yang penting fokus dikerjakan. Kebiasaan kurang baik saya yang lain, kalau lagi mood, kadang suka memforsir biarpun sudah ga fokus, sampai kecapean dan bikin ga mood ngerjain lagi.

Poin yang penting juga yaitu SEDIKIT. Mengerjakan suatu hal dari yang sedikit dulu. Misalnya, solat sunnah dhuha. Mau 12 rakaat supaya Allah bangun rumah untuk kita di surga? Mau banget! Tapiiii biasakan dulu 2 rakaat setiap hari, catet, setiap hari ga pake bolong dan ga ninggalin yang wajib. Kalau sudah berhasil, baru naik 4, 6, 8, kemudian 12 rakaat. Saat ini saya masih di tahap 2 rakaat. “Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani. [Sumber]

Misalnya lagi, menulis. Mau menulis blog pribadi atau artikel doctormums, pokoknya setiap hari harus menulis minimal 1 paragraf atau selama 30 menit. Koq targetnya kecil amat? Inget di awal, sedikit tapi RUTIN. Saya ibu rumah tangga yang ga dikejar target apapun, jadi suka-suka saya targetnya sekecil apa. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit kan, yang penting rutin. Buktinya, dengan modal “sedikit tapi rutin”, ternyata tulisan ini bisa cepat selesai. Alhamdulillah.

Lalu apakah sekarang saya sudah berhasil mengatasi sifat moody saya? Saya masih dan akan selalu berusaha. Doakan istiqomah yaa!  

Rafa Lulus SI (Sensori Integrasi)

1499833652546Ini foto sekitar 6 bulan lalu, saat Rafa dinyatakan sudah lulus SI (terapi sensori integrasi). Rafa menjalani terapi SI sejak usia 1,5 tahun dengan diagnosis gangguan bahasa ekspresif (yg diagnosis Prof. Hardiono Pusponegoro,SpA). Istilah awamnya telat bicara/speech delay. Mungkin ada yg penasaran, kenapa telat bicara terapinya bukan terapi wicara? Apa hubungannya bicara dengan sensori integrasi?

Saya coba jelaskan sedikit ya (dengan ilmu saya yg terbatas). Bicara dan bahasa merupakan hasil proses yg kompleks. Kalau di hierarki sensori integrasi, bicara dan bahasa ada di puncak. Hierarki terendah yaitu penguasaan 7 indera (bisa dibaca di buku “Keajaiban 7 Indera” dari Rumah Dandelion), terdiri dari 5 indera yang sudah kita ketahui ditambah vestibular dan proprioseptif. Rafa didiagnosis memiliki gangguan pada penguasaan vestibularnya. Proses dasarnya saja belum sempurna, apalagi bicara yg ada di puncak hierarki. Oleh karena itu, Rafa menjalani terapi SI.

Oia, tidak setiap kasus telat bicara penyebabnya gangguan sensori integrasi ya, lebih baik diperiksa oleh ahlinya (dokter anak, dokter rehabilitasi medik, dan psikolog). Saya juga pernah menulis artikel singkat tentang perkembangan bicara anak dan gangguannya, bisa dibaca disini dan disini. Saya bukan ahli sih, cuma mau berbagi sedikit ilmu yg saya punya.

Balik lagi ke foto di atas. Kedua wanita cantik di samping Rafa adalah terapisnya Rafa yg super sabar dan gigih, namanya Tante Vina dan Tante Rinda. Mereka juga sering nyemangatin saya buat ngelatih Rafa di rumah juga, biar perkembangan bicaranya lebih cepet. Setelah terapi selama 2 tahun lebih (umur Rafa sekitar 3,5 tahun) alhamdulillah Rafa lulus terapi SI. Lama? Nope. Kata terapisnya itu termasuk cepet. Kalo kata saya sih lama juga yak, kirain cuma sebulan 2 bulan gitu terapinya *ngarep* Alhamdulillah, Rafa yg tadinya ga bisa bicara satu kata pun, saat itu sudah bisa 200an kata (ini beneran saya itungin) dan mulai bisa merangkai kalimat yg terdiri dari 2-3 kata. Alhamdulillah.

Selesai? Belum, terapi dilanjutkan dengan terapi wicara. Otot-otot bicaranya Rafa kurang kuat, jadi harus dilatih supaya bicaranya lebih jelas. Sebenernya latihannya simpel, kayak meniup, menggigit, gerakin lidah atas bawah kanan kiri kayak senam, dll. Atas anjuran terapis, dokter dan psikolognya, terapi wicara ini saya aja yg melatih Rafa di rumah (home therapy). Tapi setelah dievaluasi, home therapy saja kurang efektif. Kalo kata Tante Yanti (terapis wicaranya), Rafa lebih manja sama saya, jadi susah seriusnya saat home therapy. Saat terapi wicara dengan Tante Yanti juga, alhamdulillah perkembangannya Rafa lebih baik lagi. Terapi wicaranya sudah jalan sekitar 6 bulan. Alhamdulillah Rafa saat ini umur 4 tahun, bicaranya sudah jelas dan bawel banget. Guru-guru di sekolahnya Rafa bilang sepi kalo Rafa ga masuk sekolah, karena Rafa paling bawel di kelasnya.

Selesai? Belum. Rafa terapinya di klinik tumbuh kembang (CMC Kayu Putih), jadi dilihat semua aspek. Kemampuan bicara dan bahasa Rafa alhamdulillah sudah sesuai usianya. Jadi naik level nih Rafa, terapinya yg sekarang untuk kesiapan akademisnya. Jadi nambah terapi okupasi, karena motorik halusnya Rafa masih perlu diasah dan fokusnya perlu dilatih supaya bertahan lebih lama.

Sudah hampir 3 tahun terapi apa ga bosen? Alhamdulillah Rafa masi semangat tuh. Emaknya mesti semangat juga donk. Sesekali ada sih pikiran “ya Allah ini kapan kelarnyaaaa” Selama masih ada rejeki waktu dan tenaga, jalanin aja. Sabar aja. Saya juga sering ngobrol sama ibu-ibu lain di tempat terapinya Rafa, semuanya juga masih sabar dan semangat koq. Alhamdulillah.

Rabu, 14 Juni 2017
Diana Andarini

Semuanya Salah Dokter (Pentingnya Berbaik Sangka)

1499832798271Suatu hari, teman-teman saya bercerita tentang ketidaknyamanan pelayanan medis yg diterima di beberapa tempat dan menyalahkan dokternya. Saya berusaha husnuzhon/berbaik sangka. Dari sudut pandang seorang dokter, dari cerita-cerita tersebut mungkin (saya bilang mungkin karena saya tidak tahu kondisi persisnya) ketidaknyamanan tsb bisa karena minimnya fasilitas di tempat dokter tsb praktek, atau dokternya bersikap hati-hati (daripada nantinya pasien kenapa-kenapa, diobservasi dulu sambil dirawat inap), atau keterbatasan obat yg tersedia, atau memang itu kebijakan klinik/RS, dan yg terakhir mungkin karena salah dokternya.

Mendengar beberapa curhatan teman-teman saya tsb, jujur saya sedih. Sepertinya mudah sekali menyalahkan dokter. But I don’t blame my friends. Mereka bukan tenaga kesehatan, jadi mungkin sulit membayangkan dari sudut pandang dokter. Selain itu, kalau terjadi malpraktek, biasanya beritanya dibesar-besarkan oleh media. Kadang juga dokter tsb tidak malpraktek, tapi komunikasinya yg kurang baik. Tidak bisa dipungkiri ada OKNUM dokter yg “nakal”. Belum lagi kesehatan jadi jualan politik yang maknyus, tapi yg menanggung ga enaknya kalo politikusnya ingkar janji siapa? Dokter. Sedihnya, profesi dokter di Indonesia sering diadu domba dgn pasien. Secara tidak langsung, kepercayaan pasien terhadap dokter berkurang.

Saya pun merasakan menjadi pasien. Saat saya kontrol hamil, pernah dokternya telat, saya harus antri 2 jam lebih, tapi di ruangan hanya diperiksa 15 menit. Kalau saya buruk sangka, uda saya maki-maki dokternya. Tapi tidak saya lakukan. Kebetulan dokter tsb adalah paman saya. Saya tahu, paman saya itu mengajar di rumah sakit pendidikan. Tugasnya banyak, tanggung jawabnya berat, serta sering terjadi hal-hal di luar prediksi. Jadi terlambat praktek bukannya karena sengaja/abis lepe-lepe di rumah. Antri lama karena paman saya itu detil dan sabar sekali memeriksa setiap pasien, pasien-pasiennya pun sering bertanya macam-macam. Loh terus kenapa saya cuma sebentar diperiksanya? Karena alhamdulillah kehamilan saya normal, gada keluhan, kalo ada apa-apa tinggal whatsapp paman saya. Jadi ngapain lama-lama? Hehe.

Contoh lain lagi. Saya antri periksa ke dokter jantung. Wah antrinya lama juga, sekitar 3 jam. Sebelum ngomel, saya liat sekitar saya. Wah lansia semua, sakitnya kayaknya berat-berat ini, belom lagi lansia suka curhat. Saya masih enak nunggu di luar bisa bolak-balik wc, solat, makan dulu. Dokternya? Cuma ke wc 1x, dan blom makan siang, padahal uda lewat jam makan siang.

Saya jadi ingat waktu saya masih praktek di rumah sakit. Kalau pasiennya lagi sedikit, saat istirahat siang saya bisa makan, solat, dll dengan tenang. Kalau pasiennya lagi rame, solat kilat, nahan pipis nahan laper. Nah, yg perjuangan banget kalau jaga malam. Jaga malam bukan berarti siangnya saya tidur kayak beruang lagi hibernasi (I wish), jadi kalau ada waktu untuk tidur sebentar aja, sejam dua jam uda alhamdulillah banget. Ada yg bilang itu risiko pekerjaan. Kalau dokter/perawat tsb adalah keluarga Anda, apakah Anda akan tetap bilang hal yg sama? Saya yakin tidak.

Ada 4 prinsip yang saya pelajari dulu saat sekolah kedokteran: maleficence, beneficence, justice, dan autonomy. Maleficence artinya jangan menambah keburukan pada pasien (kondisi pasien sudah buruk/sakit). Beneficence artinya berbuat kebaikan. Justice artinya keadilan. Autonomy artinya pasien memiliki hak untuk memutuskan. Guru-guru saya berpesan, setiap mau mengobati pasien, jangan lupakan keempat prinsip tersebut. Nah, dari prinsip-prinsip tsb, dokter diajarkan untuk selalu berbuat yg terbaik untuk pasien-pasiennya.

Ada nasehat lain lagi yg saya ingat, yaitu anggap pasien sebagai keluarga sendiri. Jika pasiennya ibu-ibu atau bapak-bapak, anggap orang tua sendiri. Jika pasiennya masih muda, anggap saudara kandung. Jika pasiennya sudah lansia, anggap kakek-nenek sendiri. Pasien dianggap keluarga sendiri loh, pastinya diberikan pelayanan terbaik.

Ya, dokter diajarkan untuk berbuat yg terbaik bagi pasien. Jadi, berbaik sangka dulu terhadap dokter. Kalo ga sreg, tanya langsung ke dokternya, diskusikan ketidaknyamanan Anda. Percayalah, mayoritas dokter itu baik dan berbuat baik terhadap Anda.

dr.Diana Andarini
7 Februari 2017

Note: foto di atas adalah catatan sewaktu saya masih kuliah kedokteran tentang empati, mahasiswa diminta menuliskan sifat-sifat yg harusnya dimiliki seorang dokter